Pelanggaran Etik Dari Hak Cipta

Plagiarisme seringkali dikonotasikan hanya sebagai pelanggaran etika, bukan sebagai perbuatan melawan hukum. Bagi komunitas hukum, perbuatan melawan hukum dapat dikategorikan ke dalam beberapa macam. Dalam konteks ini, perbuatan melawan hukum pidana (wederrechtelijkheid) adalah yang paling relevan untuk dikaitkan. Untuk itu, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sudah mengaturnya secara jelas.
Menurut undang-undang ini, hak cipta (copy right) adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak eksklusif merupakan hak yang hanya diperuntukkan bagi si pencipta atau penerima hak cipta itu. Apabila ada orang lain yang ingin memanfaatkan ciptaan tadi, orang ini harus mendapat izin terlebih dulu dari pencipta atau penerima hak cipta tadi.
Hak cipta adalah salah satu hak kekayaan intelektual (intellectual property rights) yang mendapat perlindungan secara otomatis oleh negara. Jadi, tanpa harus melalui prosedur pendaftaran atau permintaan, hak ini akan langsung diberikan oleh negara. Kebijakan demikian semata-mata demi kepentingan praktis, yaitu agar memudahkan setiap pencipta mendapatkan perlindungan, mengingat sedemikian banyak ciptaan dihasilkan setiap hari, baik di bidang ilmu pengetahuan, seni, maupun sastra. Pendaftaran sebenarnya lebih diperlukan untuk menjamin perlindungan dan mempermudah proses pembuktian, khususnya tatkala terjadi sengketa hak cipta di kemudian hari.
Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada kasus plagiarisme yang dibawa sampai ke tingkat pengadilan. Padahal, apabila dicermati ketentuan sanksi pidana dalam Undang-Undang Hak Cipta, perbuatan plagiarisme termasuk ke dalam kriteria tindak pidana yang diancamkan. Undang-Undang Hak Cipta menyebutkan delapan pasal perbuatan-perbuatan yang dapat dijerat dengan ancaman pidana. Semua perbuatan tadi dikategorikan sebagai delik aduan. Dari pasal-pasal tersebut, tidak ada satupun yang menyebutkan istiah plagiarisme dan otoplagiarisme.
Justru Pasal 44 Undang-Undang Hak Cipta membuat rumusan secara negatif dengan kata-kata sebagai berikut: “Penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan: (a) pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta; (b) dst…” Rumusan Pasal 44 huruf a ini perlu dicermati. Dari bunyi ketentuan tersebut jelas, bahwa syarat mencantumkan sumber adalah sebuah syarat mutlak untuk dapat terbebas dari tindak pelanggaran. Artinya, jika tidak dicantumkan sumbernya, pasal ini otomatis mengkategorikan tindakan itu sebagai pelanggaran hak cipta, sekalipun dalam sanksi pidana tidak disebut-sebut secara eksplisit tentang ancaman sanksi jika terjadi pelanggaran atas Pasal 44 Undang-Undang Hak Cipta.
Seandainya pun dicantumkan sumbernya, masih tetap terbuka kemungkinan pengambilan itu terancam sebagai pelanggaran hak cipta, yakni apabila pengambilan tersebut ternyata sampai merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta. Pembatasan ini berdimensi kualitatif. Pembentuk undang-undang rupanya menyadari bahwa pembatasan yang kuantitatif memang sulit ditetapkan. Penjelasan Pasal 44 ayat (1) menyatakan, “Yang dimaksud dengan  ‘sebagian yang substansial’ adalah bagian yang paling penting dan khas yang menjadi ciri dari ciptaan.” Selanjutnya dijelaskan, “Yang dimaksud ‘kepentingan yang wajar dari pencipta dan pemegang hak cipta’ adalah kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan.”
Pembatasan kualitatif dengan kata-kata “sebagian yang substansial” ini penting untuk diperhatikan. Artinya, tidak ada lagi alasan untuk melakukan pengambilan hak cipta orang lain dengan dalih “hanya satu atau dua kalimat atau paragraf”. Sepanjang kalimat atau paragraf itu substansial dan dilakukan tanpa pencantuman sumbernya, maka pelanggaran hak cipta sudah layak disematkan untuk perbuatan tersebut.
Sistem hukum positif Indonesia tidak hanya menyediakan satu alternatif tunggal dalam penyelesaian sengketa hak cipta. Selain mekanisme pidana, gugatan secara perdata juga dimungkinkan dengan dalih telah terjadi perbuatan melawan hukum perdata (onrechtmatige daad). Pihak penggugat mengajukan gugatannya kepada pengadilan negeri setempat. Ketika kasus ini disidangkan di pengadilan, hakim pun tetap terikat untuk menawarkan perdamaian kepada para pihak.
Terlepas dari mekanisme penyelesaian sengketa secara formal seperti diatur dalam undang-undang, mekanisme informal atau institusional biasanya justru lebih banyak digunakan. Jika yang melakukan pelanggaran ini adalah seorang dosen, maka sanksi yang diberikan biasanya juga dikaitkan dengan status kedosenannya. Institusi tempat dosen itu bernaung juga dapat membentuk majelis kode etik guna memproses pelanggaran demikian. Undang-Undang Hak Cipta sama sekali tidak menyinggung perihal otoplagiarisme. Dapat dimaknai melalu argumentum a-contrario, bahwa karena tidak diatur maka perilaku otoplagiarisme bukan dipandang sebagai pelanggaran hak cipta.

 Otoplagiarisme memang lebih tepat dikonstruksikan sebagai pelanggaran etika. Meskipun demikian, ia masih dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum perjanjian apabila misalnya seorang penulis mengajukan karya tulisannya kepada sebuah penerbit, padahal dalam perjanjian antara penulis dan penerbit itu sudah dipersyaratkan bahwa tulisan yang diajukan harus orisinal, dalam arti belum pernah dipublikasikan di media manapun. Senyampang tulisan yang tidak orisinal itu jadi diterbitkan tanpa ada pemberitahuan atau keterangan apapun dari penulisnya, maka tindakan otoplagiarisme sudah terjadi. Jika penerbit tersebut sampai menderita kerugian akibat ketidakjujuran penulis itu, maka perilaku otoplagiarisme tadi dapat menjadi dalih gugatan atas dasar cedera janji (wanprestasi).

Komentar

Postingan Populer